DENGAN SEMANGAT HARI PAHLAWAN
 " LAWAN NARKOBA DENGAN BERPRESTASI "

Rabu, 07 Desember 2011

KITA RENUNGKAN

RENUNGAN
Kupercepat langkah dengan terseok-seok, kedua kakiku menyeret antara sandal dan lantai. Kutinggalkan segala macam pikiran dan beban dengan membelakanginya. Saat itu berhasil mencapai toilet adalah harapan terbesarku. Sekian detik berlalu, akhirnya aku berhasil menduduki wastafel. Seperti halnya para penguasa yang duduk di kursi panas, di sini aku segera meluapkan emosi yang tertahan. Aku bebas melakukan apa saja selama auratku tertutupi dan tidak diketahui orang lain. Bedanya dengan penguasa, aku melakukannya ikhlas demi Allah, sedang mereka tanpa malu tanpa mempedulikan auratnya terbuka mengumbar keuntungan pribadi dari rakyat. Aku justru sebaliknya, melakukannya demi membantu rakyatku–tangan, kaki, jantung, paru-paru, usus, hati, kemaluan, otak–menghindarkan serta menjauhkan mereka dari aib, dari penyakit yang sewaktu-waktu dapat menyerang mereka.

Rasa lega seketika menyeruak di sekujur tubuh. Tak kukira begini hebatnya rejeki yang diberikan Allah padaku. Usai menunaikan hajat, aku segera keluar. Seorang lelaki tiba-tiba menyetop:
“Tunggu dulu, Mas, jangan lupa ini,” dia menunjuk pada kotak amal yang kulewati.
Aku diam.
“Berapa, Mas?”
“Seribu.”
Aku kembali diam.
“Sontoloyo, dimana-mana Tuhan dijual dengan harga yang murah.” Batinku akhirnya berkata.
Padahal apa yang kulakukan barusan juga ibadah. Buang hajat, siapa yang mengira hal ini masuk dalam rukun Islam keempat. Kau, mungkin tidak tahu, sebab aku sendiri baru mengetahuinya. Lelaki yang meminjamiku sarung tadi–belakangan kutahu seorang kyai–mengatakan, bahwa rukun Islam ada lima. Aku tahu itu. Tapi kemudian dia menjelaskannya satu persatu. Ini yang baru kutahu.
Katanya demikian: rukun Islam pertama adalah syahadat. Syahadat bukan sekedar penyaksian terhadap Allah. Untuk menyaksikan Allah, kau harus mengenalnya terlebih dahulu. Bagaimana?
Dia bertanya padaku: kapan Anda bersyahadat? Bagus juga pertanyaannya. Belum selesai pertanyaannya mengenai Allah kujawab, dia sudah membingungkanku dengan pertanyaan lain. Sampai sekarang aku memang tak pernah tahu kapan tepatnya mengucapkan dua kalimat syahadat. Masih beruntung seorang mu’allaf, dia mengetahui kapan syahadatnya, yakni setelah berpindah dari keyakinan sebelumnya ke Islam. Tapi aku, iya, kamu juga, kapan kamu bersyahadat? Kalau kujawab sewaktu sholat, pastilah dia akan menyalahkanku. Syahadat sholat ya rukun sholat, bukan rukun syahadat.
Pikiranku membuncah. Seluruh ruangan seakan menyumpahi ketololanku. Juga orang-orang di sekelilingku diam membisu. Tiada seorang pun membantuku menjawab pertanyaan Pak Kyai. Kukira pertanyaan itu telah menyebabkan pendalamanku berontak, sekaligus menyatakan makna konotatif bahwa aku seorang kafir, yang tiada mengetahui kapan persisnya melakukan syahadat. Yang lebih menjengkelkan, seandainya aku bersyahadat siapa pula yang kusaksikan? Mengapa aku harus menyaksikanNya? Bagaimana caraku menyaksikanNya? Bagaimana seandainya aku terlahir dari lingkungan keluarga non-muslim, dapatkan aku mengucap dua kalimat syahadat? Katakanlah aku sekarang terlahir dari keluarga muslim, toh aku tidak pernah meminta atau diminta masuk golongan muslim. Yang kutahu setelah mbrojol dari rahim ibu, orang tuaku tiba-tiba meng-adzani dari kuping kanan, dan mengkhomati dari kuping kiri. Dari sini kemudian muncul sebab-akibat yang mengatakan bahwa agama yang kuyakini merupakan agama keturunan, dimana pilihanku menjadi pilihan bukan semata-mata demi Allah melainkan demi orang tua.

Bertanyalah Pada Hatimu
Kadang kala, akal kepala sudah tidak bisa lagi menemukan jawaban dari berbagai persoalan. Pusing. Buntu. Bebal. Bodoh. Banyak istilah untuk menyebutnya. Lalu kita tidak tahu harus bagaimana. Blank!

Mari kita ingat: Iqro bismirobikalladzi kholaq, kholaqol insana min alaq. Iqro warobbukal akrom. Aladzi alamal bil qolam. Alamal insana maa lam ya' lam.

Samar-samar kita menggapai kesadaran. "Bacalah dengan nama Allah yang menciptakan. Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dengan kebaikan Allah. Yang mengajari ilmu dengan perantaraan kalam. Mengajari manusia apa-apa yang tidak diketahuinya."

Nabi besar Muhammad Saw, bersabda, "Ada segumpal darah, apabila baik maka baiklah keseluruhannya. Apabila rusak, rusaklah semuanya. Dia adalah Qolbun (hati).

Segumpal darah mempunyai makna yang begitu besar. Dengan dia manusia diciptakan dan dinilai. Dengannya manusia dibekali. Dia disebut baitullah, rumah Allah. "Qolbul muslim baitullah", begitu kata yang sudah sering kita dengar.

Hati. Ya, segumpal darah itu menurut ilmu agama, terletak di dalam dada di bawah susu sebelah kiri. Kalau bahasa jasmani atau organ tubuh dialah jantung. Tetapi bukan itu. Ini adalah bahasa ruhani. Hati itu menjadi inti dari jantung, dia adalah kesadaran roh yang mengendalikan hidup kita, yang menurut ahli bijak bersemayam pada segumpal darah hitam di dalam jantung jasmani.

Dia adalah tempat Allah dan para malaikatnya singgah. Keagungan manusia terletak di sana. Hati. Tempat yang sangat luas. Mampu menampung apa saja yang menjadi isi dunia. Dia merupakan pintu pengetahuan rahasia.

Dalam kitab Ihya Ulumuddin, Imam Al Ghozali menulis sebuah hadis dari Nabi Muhammad Saw, jika saja hati manusia itu bersih dari syaithon, niscaya dia akan bisa melihat rahasia langit. Nah, itulah hati yang menjadi bahasan ilmu rohani, bukan jasmani. Hati merupakan pintu yang menghadap ke akhirat juga menghadap ke dunia. Tempat Allah menurunkan ilmu (ilham). Tempat malaikat mampir.

Jika akal yang sibuk sudah mentok, buntu, bodoh, bebal, tidak tahu. Mari...kita bersihkan hati kita dari hingar-bingar dunia. Bersihkan dari segala kotoran nafsu. Usirlah Kalbun (anjing) yang bercokol di dalamnya. Jadikan dia benar-benar bersih, sehingga layak disebut baitullah. Maqomnya malaikat ketika mampir.

Jika sudah mencapai keadaan tenang...terdengarlah seruan...irji'i ila robbiki...kembalilah kepada tuhanmu. Maka, kita tidak akan menemukan kebuntuan jalan. Karena, insya Allah, tidak ada jalan buntu di sana. Dan sudah saatnya kita dengarkan kata hati kita, sebagai jawaban dari kebuntual akal jasmani kita. Wassalam...

Saatnya Berjalan
Sudah cukup kata-kata yang kita ucapkan. Semua itu cukup sebagai bahan referensi. Cukup sudah...simpan dulu kata-kata itu. Katupkan kedua bibir. Tenangkan semua pikir. Saatnya kita berjalan. Ayunkan kaki maknawi dalam perjalanan batin.
Batin kita adalah lautan maknawi yang harus kita arungi untuk menghadap Sang Ilahi. Bentangkan layar ruhani kita agar bisa menangkap angin petunjuk yang akan membawa perjalanan menuju kehadirat Sang Ilahi. Bahawalah bekal secukupnya...referensi tadi adalah bekal..pengetahuan hukum syar'i adalah bekal. Karena tidak mungkin berlayar tanpa arah dan haluan.
Mari kita berjalan. Biarlah gelap kita terus berjalan, kita tuju cahaya terang kebenaran dan ilmu pengetahuan yang murni. Mari terus melangkah sambil menyesali semua dosa dan kesalahan. Mohon ampun dan petunjuk dari Yang Maha Suci. Pasrahkan nasib diri ini, biarlah diayun ombak takdirnya tak mengapa. Karena yang kita tuju Dia jua. Lautan dan ombak adalah miliknya. Sadarilah, betapa kita dekat dengannya. Lalu mengapa kita tidak berjalan untuk sampai kepada-Nya.
Ingatlah, Dia suka memperjalankan hambanya, meski dalam gelap malam, untuk menghadap-Nya. Lihatlah referensi yang ada, kebanyakan para Nabi diperjalankan pada siang dan malam hari. Siang dan malam pada langit maknawi. Siang dan malam adalah kendaraan menuju kepada-Nya. Mari kita naiki! Ingatlah selalu dalam keadaan apapun, ruku'an wa ku'udan wa ala junubihim...ingatlah akan Allah. Dialah yang kita tuju...ilahi anta maqsudi wa ridhoka mathlubi a'tini mahabataka wa biqurbika  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SEMOGA SELALU MANTAP BOS